Minggu, 22 September 2013

ETOS KERJA DALAM ISLAM

Etos Kerja dalam Perspektif Islam

a. Pengertian Etos Kerja dalam Islam
          Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fakir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:
KHI = T, AS (M, A, R, A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T      = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M    = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.”
Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang beretos kerja Islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh, tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi Islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam  dan Alsunnah tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai  dan Alsunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.

b. Prinsip-prinsip Dasar Etos Kerja dalam Islam
Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam mengajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:

  1. Bahwa perkerjaan itu dilakukan berdasarkan pengetahuan sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam Alquran, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(Q.S, 17: 36).
  2. Pekerjaan harus dilaksanakan berdasarkan keahlian sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).
  3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mulk: 67: 2). Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.
  4. Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.”(Q.S. 9: 105).
  5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.[20]
  6. Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi. Di dalam Alquran ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan kebaika.”(Q.S. 53: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari). Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian terhadapnya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam agama.
  7. Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai riza Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.[21] Sabda Nabi saw. itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang dikaitkan dengan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, atau, jika ia mengerjakannya dengan tingkat-tingkat kesungguhan tertentu.
  8. Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan. Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir baginya bentuk wujud manusia – maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.”[22] Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri:

“Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhan-mulah tujuan yang penghabisan”.[23]

Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya – tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.
“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,”[24] (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia).

Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya.[25]
  1. Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini:
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah ‘azza wa jalla dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan aku lakukan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu,”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan”.[26]

Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya) ….”[27] Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat”.[28]

Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).[29] Maka adalah baik sekali direnungkan firman Allah dalam surah al-Jumu’ah:
“Maka bila sembahyang itu telah usai, menyebarlah kamu di bumi, dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah ingat kepada Allah, agar kamu berjaya”.[30]
Dari prinsip-prinsip dasar di atas, penting juga dirumuskan ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja Islam, hal itu akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan (khaira ummah), Toto Tasmara merinci ciri-ciri etos kerja Muslim, sebagai berikut: (1) Memiliki jiwa kepemimpinan (leadhership); (2) Selalu berhitung; (3) Menghargai waktu; (4) Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan (positive improvements); (5) Hidup berhemat dan efisien; (6) Memiliki jiwa wiraswasta (entrepreneurship); (7) Memiliki insting bersaing dan bertanding; (8) Keinginan untuk mandiri (independent); (9) Haus untuk memiliki sifat keilmuan; (10) Berwawasan makro (universal); (11) Memperhatikan kesehatan dan gizi; (12) Ulet, pantang menyerah; (13) Berorientasi pada produktivitas; dan (14) Memperkaya jaringan silaturrahim.[31]

Problema Etos Kerja Dalam Masyarakat Islam
Nilai kerja dalam masyarakat Islam mulai merosot akibat berkembangnya pemerintahan feodal yang zalim. Dalam sistem pemerintahan yang seperti itu, timbul kehidupan yang mewah di kalangan elite bangsawan. Pemerintahan yang otoriter menyebabkan motivasi rakyat untuk bekerja merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat “lari” kepada Tuhan. Sebenarnya, tauhid yang merupakan fondasi utama dalam ajaran Islam, bersifat membebaskan. Tauhid telah menghapus sistem hak milik feodal, karena seluruh hak milik raja dan penguasaan tanah oleh kaum feodal itu “diambil alih” oleh Tuhan untuk dilimpahkan kembali kepada rakyat. Tapi rakyat yang tak bersenjata tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, yang timbul adalah aliran tasawuf.
Dalam dunia Islam di Timur Tengah, timbulnya aliran-aliran tasawuf berkorelasi positif dengan berkembangnya pemerintahan otoriter. Dalam keadaan yang lemah secara ekonomis, politis maupun mental, rakyat tidak bisa mendukung pemerintahan. Itulah sebabnya pemerintahan Islam akhirnya lemah di dalam dan hancur oleh invansi dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah. Runtuhnya perekonomian kaum Muslim adalah akibat penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Mereka jatuh ke tangan penjajah karena pemerintahannya lemah. Dan pemerintahan lemah karena tidak didukung oleh rakyat yang lemah akibat pemerintahan yang otoriter dan represif.[32]
Dewasa ini, kebanyakan negara-negara berpenduduk Islam termasuk dalam kategori negara-negara sedang berkembang dan Dunia Ketiga, yaitu kelompok negara-negara yang pada masa Revolusi Industri tidak ikut serta dalam proses pembentukan Orde Dunia sekarang yang kapitalis itu. Pada masa itu, kebanyakan dunia Islam malahan jatuh ke tangan penjajahan dan mengalami eksploitasi ekonomi oleh system kolonialisme. Kapitalisme, menimbulkan pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan keterbelakangan di lain pihak. Keterbelakangan itu terjadi melalui mekanisme kolonialisme dan imperialisme.
Eksploitasi pada zaman penjajahan itu merupakan penjelasan atas terjadinya kemiskinan di dunia Islam termasuk Indonesia. Koeksidensi antara kemiskinan dan kemusliman itu menimbulkan kesimpulan bahwa etos kerja di kalangan kaum Muslim itu rendah, padahal dewasa ini, Dunia Ketiga tidak hanya terdiri atas dunia Islam. Filipina juga sebuah negara yang masih terbelakang ekonominya, padahal mayoritas penduduknya beragama Katolik. Sebab-sebab kemiskinan itu adalah faktor-faktor yang kompleks yang terjalin dalam sejarah dan karena itu tidak bisa semata-mata dikaitkan dengan etos kerja.[33]
Harapan perkembangan dunia Islam agaknya berasal dari dunia pendidikan. Etos kerja tidak hanya semata-mata bergantung kepada nilai-nilai agama dalam arti sempit, tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, yang perlu dkembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Apabila kelak sudah banyak tenaga-tena muda terpelajar di pusat dunia Islam, maka orientasi mereka terhadap etos industri akan berkembang.
Dalam konteks Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat dalam Pergerakan Indonesia agaknya mengambil tema yang berbeda-beda dari Alquran yang menyebabkan tumbuhnya etos yang berbeda di antara mereka. Etos Masyumi adalah musyawarah dengan cita-cita kemasyarakatan ke arah tercapainya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Negara yang Adil Makmur di bawah Ampunan Ilahi). Muhammadiyah mengambil tema lain, yaitu yang tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104, sedangkan ayat yang dijadikan dasar berorganisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah surah Ali Imran ayat 103. Di kalangan cendekiawan Muslim telah berkembang etos di sekitar konsep Ulul al-Bab, seperti yang tercantum dalam surat Ali ‘Imran ayat 190-191. Yang pertama menekankan dakwah amar ma’ruf nahy munkar, sedangkan yang kedua menekankan persatuan umat. Sementara itu, ICMI (yang berdiri 7 esember 1990) menekankan peranan kelompok pemikir dalam perkembangan masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar